Farid Anfasa Moeloek
Prof. Dr. dr. H. Farid Anfasa Moeloek, Sp.OG. (lahir 28 Juni 1944) adalah seorang dokter Indonesia dan profesor obstetri dan ginekologi di Universitas Indonesia. Ia menjabat sebagai Menteri Kesehatan Indonesia dari tahun 1998 hingga 1999, menjabat di kabinet terakhir Presiden Soeharto dan kabinet Presiden B. J. Habibie.[1] Kehidupan awalFarid lahir pada tanggal 28 Juni 1944 di desa Winong di Liwa, Lampung, sebagai anak bungsu kedua dari Abdul Moeloek Soetan Anjoeng, seorang dokter, dan Poeti Alam Naisjah, seorang guru. Hampir semua anggota keluarga Farid adalah dokter, dengan saudaranya, Nukman Moeloek, menjadi dokter dan profesor andrologi di Universitas Indonesia.[2] Pamannya, Sutan Assin, adalah seorang dokter bedah, dan sepupunya juga adalah dokter.[3] Ayah Farid, Abdoel Moeloek, bermigrasi ke desa Winong dengan harapan dapat menghindari penangkapan oleh pasukan Jepang, yang menargetkan kaum intelektual Indonesia. Selama tinggal di desa tersebut, orang tua Farid menyediakan layanan kesehatan dan pendidikan gratis, sehingga mereka dihormati oleh penduduk desa. Ayahnya juga mengadopsi anak-anak dari desa tersebut. Setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, keluarga mereka bermigrasi ke Tanjungkarang, ibu kota Lampung. Abdoel mengambil alih rumah sakit pusat kota dari tangan pasukan Jepang dan menjadi kepalanya.[3] Selama Revolusi Nasional Indonesia, Farid mengingat ayahnya merawat tentara yang terluka dari kedua belah pihak bersama dengan staf rumah sakit, yang menginspirasinya untuk menjadi seorang dokter.[4] Setelah ayahnya meninggal pada tahun 1973, DPRD provinsi Lampung memutuskan untuk menamai rumah sakit itu dengan namanya.[3] Farid menghabiskan masa kecilnya di Tanjungkarang, menyelesaikan pendidikan dasarnya dari sekolah dasar Xaverius hingga sekolah menengah negeri di kota tersebut. Sebagai seorang anak, Farid dikenal sebagai seorang fotografer dan pembelajar yang rajin. Ia diberi julukan Yip karena rhotacisme-nya.[4] PendidikanSetelah menamatkan sekolah menengah atas, Farid belajar teknik sipil di Institut Teknologi Bandung.[5] Setelah tiga bulan di sana, Farid meminta untuk keluar dari sekolah tersebut, dengan alasan ingin mengejar jalur karier yang berbeda dari saudaranya yang lain, yang telah menjadi insinyur. Ayahnya menyetujui pilihannya melalui telegram, dan ia pindah ke Jakarta untuk belajar kedokteran di Universitas Indonesia. Ia lulus dari universitas tersebut pada tahun 1970 dan menerima lisensi sebagai dokter spesialis obstetri dan ginekologi pada tahun 1976.[5][4] Setelah menamatkan pendidikan kedokteran formal, Farid juga mengikuti sejumlah kursus di luar negeri. Ia mengikuti kursus tentang manajemen fertilitas dan perawatan ibu dan anak yang diselenggarakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia di Singapura pada tahun 1977, tentang manajemen infertilitas dan bedah mikro ginekologi di Universitas Johns Hopkins di Baltimore pada tahun 1979, dan tentang endoskopi operatif dalam fertilitas dan infertilitas di Rumah Sakit Elisabeth di Hamburg pada tahun 1980. Selama studinya di luar negeri, Farid memuji negara-negara tersebut karena memiliki layanan kesehatan yang lebih unggul dibandingkan dengan Indonesia, tetapi mendesak Indonesia untuk mempertimbangkan situasi domestiknya sebelum mendapatkan jenis fasilitas kesehatan yang ditemukan di negara-negara tersebut.[4] Pada tanggal 22 Oktober 1983, Farid secara resmi menerima gelar doktornya[6] setelah mempertahankan disertasinya yang berjudul Laparoskopi pada pemeriksaan klinik infertilitas wanita. Dalam disertasinya, Farid menawarkan laparoskopi, yang merupakan teknologi baru di Indonesia saat itu, sebagai solusi bagi wanita infertil.[7][8] Disertasi yang dibimbing oleh Hanifa Wiknjosastro dan Ratna Suprapti Samil ini mendapat predikat cum laude dari para pengujinya.[9][10] KarierFarid mulai mengajar kedokteran umum di Universitas Indonesia pada tahun 1971 dan di Departemen Obstetri dan Ginekologi sejak tahun 1976. Farid berpraktik di bidang obstetri dan ginekologi di klinik kesehatan reproduksi fakultas di Cikini, di mana ia menjadi kepala klinik tersebut dari tahun 1981 hingga 1984. Pada tahun 1981, Farid berhasil melakukan operasi rekanalisasi tuba fallopi pertama di Indonesia.[9] Farid juga mengajar di sebuah kursus yang diselenggarakan bersama antara universitas dan WHO pada tahun 1981 dan direktur kursus reproduksi, yang diselenggarakan bersama antara departemen kesehatan, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, fakultas, dan Universitas Johns Hopkins dari tahun 1981 hingga 1984. Ia juga menjadi anggota organisasi yang terkait dengan keluarga berencana, obstetri dan ginekologi, dan fertilitas. Atas karyanya di bidang keluarga berencana, pada tanggal 17 Agustus 1979 Farid menerima penghargaan dari gubernur Jakarta Tjokropranolo. Ia kemudian menerima keanggotaan kehormatan dari International Society for Human Reproduction dan Society of Fallopian Tube in Health and Disease pada tahun 1993.[9] Farid memegang sejumlah jabatan akademis di Universitas Indonesia, menjabat sebagai kepala unit komputer fakultas kedokteran. Pada tanggal 11 September 1990, Farid diangkat sebagai asisten direktur urusan akademik di program pascasarjana universitas oleh rektor Sujudi.[11] Selama masa jabatannya, Farid dipromosikan ke pangkat profesor tetap pada tanggal 31 Juli 1994.[9] Pada pidato pengukuhannya sebagai profesor tetap pada tanggal 18 Januari 1995, Farid menganjurkan pendekatan sistem untuk memahami kesehatan reproduksi, menekankan keterkaitan berbagai sistem, termasuk organisme, kepribadian, sistem sosial, dan budaya.[12] Enam tahun kemudian, Farid dipromosikan sebagai direktur program, menggantikan Iskandar Wahidiyat. Sebagai direktur, Farid berfokus pada upaya internasionalisasi program dengan menyelaraskan kurikulum dan penelitian dengan standar global, serta mengembangkan kualitas sumber daya manusia dan mendirikan jurusan baru. Ia juga mengusulkan pendirian taman sains di kampus universitas.[13] Kehidupan pribadiFarid menikah dengan Nila Djuwita, anak ketiga dari lima bersaudara dari Nizar Sutan Tumanggung, seorang profesor di bidang otolaringologi, pada 11 Februari 1972. Farid bertemu Nila di acara orientasi mahasiswa fakultas kedokteran. Saat itu, Farid menjadi anggota panitia orientasi, sedangkan Nila masih mahasiswa baru. Pasangan ini memiliki tiga orang anak: Muhammad Reiza Moeloek, Puti Alifa Moeloek, Puti Annisa Moeloek, semuanya bekerja sebagai insinyur.[10] Kegiatan Profesi Masa Lampau
Keanggotaan kehormatan
Penghargaan dan tanda kehormatan
Referensi
Pranala luar
|