Kanselir agung (宰相/丞相), sering juga diterjemahkan menjadi perdana menteri, penasihat kepala, kanselir, kepala dewan, kepala menteri, kanselir kekaisaran atau letnan kanselir, adalah pejabat eksekutif tertinggi dalam pemerintahan kekaisaran Tiongkok. Jabatan ini disebut dengan berbagai nama yang berbeda sepanjang sejarah Tiongkok, dan lingkup kekuasaannya sangat berfluktuasi, bahkan selama periode dinasti yang sama. Pada masa Enam Dinasti, jabatan atau istilah ini menunjukkan pada sejumlah pemegang kekuasaan yang menjabat sebagai kepala administrator, termasuk zhongshun jian (Inspektur Jenderal Sekretariat), zhongshu ling (ketua sekretariat), shizhong (Petugas istana), shangshu ling dan puye (ketua dan wakil ketua urusan luar negeri).[1]
Catatan: setelah kematian Hu Weiyong, tidak ada kanselir yang menjabat sebagai perdana menteri. Sekretaris agung menjadi kanselir 'de facto' setelah kaisar Xuande
Dalam hierarki birokrasi dinasti Qing tidak ada kanselir. Sebaliknya, tugas-tugas yang biasanya dipikul oleh seorang kanselir dipercayakan kepada serangkaian lembaga formal dan informal, yang paling menonjol di antaranya adalah Dewan Agung. Namun, kadang-kadang ada menteri yang sangat mendominasi pemerintahan sehingga ia secara kiasan dijuluki sebagai "kanselir". Salah satu contoh di akhir dinasti Qing adalah Li Hongzhang.
Pada tahun 1911, mejelis Qing melakukan beberapa reformasi yang di antaranya menetapkan posisi Perdana Menteri Kabinet Kekaisaran. Jabatan ini kurang dari setahun karena pemerintahan Qing digulingkan.
Artikel ini memuat teks dari Journal of the North-China Branch of the Royal Asiatic Society, Volume 10, oleh Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland. North-China Branch, publikasi dari tahun 1876, sekarang berada pada domain umum di Amerika Serikat.
Li, Konghuai (2007). History of Administrative Systems in Ancient China (dalam bahasa Tionghoa). Joint Publishing (H.K.) Co., Ltd. ISBN978-962-04-2654-4.
Wang, Yü-Ch'üan (June 1949). "An Outline of The Central Government of The Former Han Dynasty". Harvard Journal of Asiatic Studies. 12 (1/2): 134–187. doi:10.2307/2718206.