Konsumerisme

Konsumerisme merupakan ideologi yang menjadikan seseorang atau kelompok menjalankan proses konsumsi atau pemakaian barang-barang hasil produksi secara berlebihan, tanpa sadar dan berkelanjutan.[1] Pembelian barang-barang hanya didasari oleh keinginan dan tidak mempertimbangkan kebutuhan.[2] Pada mulanya, konsumerisme adalah sebuah gerakan perlindungan terhadap konsumen. Seiring dengan berkembangnya filsafat materialisme dan positivisme, pandangan konsumerisme berkembang menjadi suatu konsumsi dengan teknologi modern yang bersifat boros.[3] Konsumerisme terbentuk melalui pembangunan pusat-pusat hiburan dan pusat-pusat perbelanjaan di kota-kota besar.[4]

Penyebab

Penyebab utama timbulnya paham konsumerisme adalah pemenuhan keinginan yang lebih besar dibandingkan dengan pemenuhan kebutuhan. Manusia memiliki keinginan yang tidak terbatas sedangkan kemampuan yang dimilikinya terbatas. Hal ini membuat manusia selalu ingin memenuhi keinginannya meskipun kemampuan untuk memenuhinya terbatas. Perilaku ini membuat manusia tidak akan pernah mencapai kepuasan sehingga konsumerisme terjadi secara alami.[5]

Konsep awal

Konsep konsumerisme mulai digagas oleh Walt Whitman Rostow melalui gagasan bahwa konsumsi secara berlebihan akan timbul pada tahap akhir perrtumbuhan ekonomi. Hasrat dan minat masyarakat cenderung mengutamakan konsumsi dan kesejahteraan melalui sumber daya yang tersedia disertai dengan dukungan politik. Perilaku konsumerisme disebarluaskan melalui penaklukan negara lain dan penguasaan terhadapnya. Pada tahap ini konsumerisme hanya mengutamakan kebutuhan primer. Setelahnya konsumerisme digunakan sebagai sarana untuk menciptakan negara yang sejahtera. Pada tahap ini diterapkan sistem perpajakan yang akan membagi rata kemakmuran dalam masyarakat.[6]

Perkembangan konsep

Konsumerisme masih dianggap sebagai sebuah gerakan konsumsi selama periode 1890-1906. Pada periode tahun 1930-an, meningkatnya hasrat masyarakat untuk melakukan konsumsi secara besar-besaran membuat konsumerisme dipandang sebagai kegiatan pemborosan massal. Konsep ini mulai dibahas oleh Thorstein Bunde Veblen dalam buku The Theory of The Leisure Class dan oleh Stuar Chase dalam buku The Tragedy of Waste. Konsep konsumerisme kemudian kembali dibahas oleh John F. Kennedy pada bulan Maret 1962. Konsumerisme yang digagasnya berkaitan dengan kekurangan yang dimiliki pasar beraitan dengan konsumen, pelayanan pasar dan kualitas produk di dalam pasar.[7] Dalam perkembangan selanjutnya, konsumerisme tidak hanya menjadi gejala ekonomi, tetapi juga menjadi gejala sosiologi dan psikologi. Konsumerisme menjadi suatu gerakan perlindungan dan pendidikan yang diwujudkan dalam bentuk lembaga konsumen. Lembaga ini menjadi perantara antara kepentingan produsen dan konsumen. Di saat bersamaan, perkembangan konsumerisme sebagai suatu bentuk pemborosan menjadi lebih pesat. Ini merupakan akibat dari perkembangan selera konsumen yang cenderung boros dan kecenderungan produsen untuk melakukan produksi massal secara terus-menerus.[8]

Referensi

  1. ^ Rohman, Abdur (Desember 2016). "Budaya Konsumerisme dan Teori Kebocoran di Kalangan Mahasiswa". Karsa: Jurnal Sosial dan Budaya Keislaman. 24 (2): 240. doi:10.19105/karsa.v24i2.894. ISSN 2442-4285. 
  2. ^ Radiansyah, Rifi Rivani (Juni 2019). "Konsumerisme Hingga Hiper-realitas Politik di Ruang Baru Era Cyberspace (Antara Kemunduran Atau Kemajuan Bagi Pembangunan Negara Indonesia Yang Demokratis)". Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. 3 (2): 32. 
  3. ^ Armawi 2007, hlm. 322.
  4. ^ Shinta, Fairus (Juni 2018). "Kajian Fast Fashion dalam Percepatan Budaya Konsumerisme". Jurnal Rupa. 3 (1): 67. doi:10.25124/rupa.v3i1.1329. ISSN 2503-1066. 
  5. ^ Yustati, Herlina (2015). "Konsumsi dalam Perspektif Ekonomi Islam (Regresi Religiusitas terhadap Konsumerisme pada Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)". Indo-Islamika. 2 (2): 35. doi:10.15408/idi.v5i1.14786. ISSN 2723-1135. 
  6. ^ Armawi 2007, hlm. 319-320.
  7. ^ Armawi 2007, hlm. 320.
  8. ^ Armawi 2007, hlm. 320-321.

Daftar pustaka

Kembali kehalaman sebelumnya