Pandangan agama tentang masturbasi

Di antara agama-agama di seluruh dunia, pandangan mengenai masturbasi bervariasi. Sebagian agama memandangnya sebagai suatu praktik yang merugikan secara rohani, beberapa menganggapnya tidak merugikan secara rohani, dan yang lainnya mengambil suatu pandangan situasional. Di antara agama-agama yang mengambil posisi terakhir, beberapa menganggap masturbasi diperbolehkan jika digunakan sebagai suatu sarana kontrol diri secara seksual, atau sebagai bagian dari eksplorasi diri yang sehat, tetapi melarangnya jika dilakukan dengan motivasi yang dianggap salah ataupun sebagai suatu adiksi.

Agama Abrahamik

Keilmuan biblika

Menurut tradisi, kisah biblis Onan (Kejadian 38) dikaitkan dengan masturbasi dan kecaman daripadanya,[1] kendati tindakan seksual yang dideskripsikan oleh kisah itu dipandang sebagai coitus interruptus ("sanggama terputus"), bukan masturbasi.[2][3][4][5][6] Tidak terdapat pernyataan secara eksplisit di dalam Alkitab bahwa masturbasi adalah dosa.[7][8]

Menurut James Nelson, terdapat tiga tinjauan interpretatif mengapa perbuatan Onan dikutuk: kisah Onan mencerminkan karakteristik "prokreatif" yang kuat dalam penafsiran Ibrani terkait seksualitas, suatu pemikiran "pra-ilmiah" yang memandang bahwa anak terkandung di dalam sperma dengan cara yang sama seperti tanaman terkandung di dalam benihnya, dan masturbasi sebagaimana tindakan homoseksual oleh kaum pria dikecam lebih keras daripada tindakan-tindakan serupa oleh kaum wanita dalam tradisi Kristen-Yahudi.[9]

Menurut The Oxford Handbook of Theology, Sexuality, and Gender, sejumlah akademisi mengemukakan bahwa kata 'tangan' yang tertulis dalam Matius 5:29-30, Markus 9:42-48, dan Matius 18:6-9 kemungkinan mengimplikasikan masturbasi sebagaimana di dalam Mishnah (m. Nid. 2.1).[10]:204 Mengenai perikop-perikop Alkitab tersebut, The Oxford Encyclopedia of the Bible and Gender Studies menyatakan pandangan Will Deming: "Perbuatan dosa oleh mata, tangan, dan kaki mungkin berasal dari suatu tradisi peringatan-peringatan formulais menentang tatapan penuh nafsu (dengan mata), masturbasi (dengan tangan), dan perzinaan (dengan 'kaki', eufemisme Ibrani untuk alat kelamin)."[11] Selain mata, Deming berpendapat bahwa "tangan memainkan suatu peran penting juga dalam hawa nafsu, melalui masturbasi".[12]

Kekristenan

Kristen Katolik dan Ortodoks memandang masturbasi sebagai suatu dosa.

Gereja perdana

Klemens dari Aleksandria (ca 150 – ca 215), seorang Bapa Gereja Yunani dari Mesir, menulis dalam Paedagogus atau Sang Pengajar karyanya:

Karena institusi ilahi untuk perbanyakan manusia, benih bukanlah untuk dipancarkan ke luar secara sia-sia, bukanlah juga untuk dihancurkan, bukanlah juga untuk dibuang secara cuma-cuma.

Para akademisi seperti Raj Bhala dan Kathryn M. Kueny mengatakan bahwa pernyataan Klemens mencakup coitus interruptus maupun masturbasi, yaitu tindakan-tindakan yang "merusak kodrat".[13] Menurut Kueny, "penggunaan ramuan-ramuan spermisida" juga termasuk di dalamnya.[14] John G. Younger menilai bahwa Klemens berbicara tentang masturbasi serta "kaum wanita maskulin dan kaum pria banci" di dalam Paedagogus karyanya, menyebutnya sebagai pelanggaran kodrat setiap tindakan seksual yang tujuannya selain menghasilkan keturunan.[15]

Berbicara tentang kaum Gnostik Mesir terkait pengalaman dia sebelumnya dengan mereka, Epifanius dari Salamis (310/320 – 403), seorang Pujangga Gereja dan Bapa Gereja Bizantin, menyatakan dalam Panarion atau Tabut Obat-obatan karyanya:

Mereka melakukan tindakan-tindakan genital, tetapi menghindari perkandungan anak-anak. Bukan untuk menghasilkan keturunan, tetapi untuk memuaskan nafsu, mereka asyik dengan penyalahgunaan.[16]

John T. Noonan Jr. mengatakan bahwa kaum Gnostik yang dideskripsikan oleh Epifanius mempraktikkan "tindakan-tindakan seksual non prokreatif" sebagai pusat dalam ritus-ritus keagamaan mereka. Epifanius menyebut praktik-praktik tersebut, yang meliputi coitus interruptus, masturbasi, dan tindakan homoseksual, sebagai "ritus-ritus dan upacara-upacara iblis".[16] Shenoute (348-466), tokoh Bizantin lainnya yang dipandang sebagai seorang santo dalam Gereja Ortodoks Oriental, memandang masturbasi sebagai suatu pelanggaran seksual[17] dan suatu "aktivitas seksual terlarang yang sesungguhnya".[18]

Para akademisi seperti Robert Baker dan Simon Lienyueh Wei meyakini bahwa Agustinus dari Hippo (354–430), seorang Pujangga Gereja dan Bapa Gereja Latin, memandang masturbasi sebagai suatu dosa.[19][20][21] Akademisi lainnya, Merry E. Wiesner-Hanks dan Carly Daniel-Hughes, mengatakan bahwa Agustinus mengutuk semua aktivitas seksual yang bertentangan dengan prokreasi termasuk tindakan seksual dan masturbasi—atau "kenikmatan soliter".[22][23] Carly mengatakan bahwa Agustinus juga memandang "masturbasi bersama" sebagai "persetubuhan yang tidak alamiah" berdasarkan Roma 1.[23] Isidorus dari Sevilla, Pujangga Gereja dan Bapa Gereja Latin lainnya, memandang masturbasi sebagai suatu perilaku "banci",[24][25] kendati para penulis penitensial awal tampaknya tidak sepenuhnya setuju dengan dia.[26] Dalam Etymologiae karyanya (ca 600–625), Isidorus berpendapat bahwa melalui masturbasi seseorang mempermalukan "energi seksnya dengan tubuhnya yang lemah".[25]

Namun, seorang teolog Katolik pembangkang bernama Charles E. Curran mengklaim bahwa "para bapa Gereja praktis memilih diam dalam hal pertanyaan sederhana mengenai masturbasi".[27] Arthur J. Mielke menyatakan pandangan James A. Brundage dengan kata-kata: "tema-tema mengenai masturbasi dan fantasi seksual tidak penting bagi para penulis pagan ataupun Kristen hingga abad keempat atau kelima" (saat terjadinya kebangkitan monastisisme).[28] Kenyataannya, Brundage sendiri menyatakan dalam bukunya bahwa para penulis itu tidak terlalu menaruh banyak perhatian pada hal-hal tersebut,[29] serta "hanya menaruh sedikit perhatian pada praktik-praktik masturbasi dan homoseksual",[30] tanpa menyatakan "tidak penting".

Giovanni Cappelli, sebagaimana ditulis oleh James F. Keenan, berpendapat bahwa seiring dengan berkembangnya komunitas-komunitas monastik, kehidupan seksual para rahib menjadi sorotan dua orang teolog, Yohanes Kasianus (365–433) dan Sesarius dari Arles (470–543), yang berkomentar tentang berbagai kebiasaan atau perilaku buruk dalam kehidupan 'soliter'. Cappelli mengklaim bahwa "kekhawatiran mereka bukanlah pada tindakan masturbasi, tetapi pada para rahib yang berkaul kemurnian. Janji para rahib menjadikan masturbasi suatu tindakan terlarang; tindakan itu sendiri tidak dianggap berdosa." Keenan menambahkan: "Bahkan, sepengamatan Cappelli, Louis Crompton, dan James Brundage, sebelum Kasianus masturbasi tidak dianggap sebagai suatu pelanggaran seksual bagi siapa saja."[31]

Bagaimanapun, Brundage menulis dalam bukunya bahwa Kasianus memandang "masturbasi dan kecemaran nokturnal sebagai isu-isu sentral dalam moralitas seksual dan mencurahkan banyak perhatian pada kedua hal itu". Kasianus memandang "emisi nokturnal" sebagai suatu masalah yang sangat penting karena merupakan suatu indikasi adanya "nafsu badani" dan, apabila seorang rahib masih belum berhasil mengatasinya, "kehidupan rohaninya dan keselamatannya mungkin berada dalam bahaya".[29] Dalam Conlationes, Kasianus menggunakan kata "kenajisan" (immunditia, sebagaimana tertulis dalam Kolose 3:5) sebagai suatu istilah yang setara untuk menyebut masturbasi maupun emisi nokturnal, dengan tegas memandang masturbasi sebagai suatu bentuk "pelampiasan seksual" yang tidak dapat diterima.[32] Dalam De institutis coenobiorum, ia memberikan penekanan khusus pada "dosa percabulan, yang mencakup masturbasi dan berfantasi seksual".[33] Brundage melihat Sesarius menganut pandangan yang sama seperti Kasianus. Dalam Khotbah-Khotbah karyanya, Sesarius memandang "setiap kerinduan seksual, untuk mengatakan tidak pada stimulasi diri yang disengaja, suatu dosa yang serius dan menempatkannya setara dengan perzinaan ataupun pengumbaran yang berlebihan dalam hubungan seks oleh pasangan suami-istri".[29] Menurut Simon Lienyueh Wei, sebagaimana dikutip oleh beberapa akademisi, Yohanes Kasianus dan Agustinus dari Hippo berpendapat bahwa adalah dosa apabila emisi tersebut merupakan akibat dari "suatu pengalaman ataupun pembangkitan kenangan menyenangkan yang penuh nafsu"; apabila di luar hal-hal itu maka dipandang sebagai "suatu fungsi jasmaniah".[20][21]

Mark W. Elliott mengatakan bahwa Paus Gregorius I (ca 540 – 604)—umumnya dikenal sebagai Gregorius Agung, seorang Pujangga Gereja dan Bapa Gereja Latin—memandang Imamat 15, yang membahas kecemaran ritual, menyajikan "aturan-aturan bagi semua di dalam komunitas gereja dengan menghubungkan emisi dengan yang berasal dari hubungan seksual, bukannya interpretasi terdahulu 'emisi nokturnal' monastik. ... Ia, bagaimanapun, menetapkan bahwa emisi-emisi nokturnal—apabila disebabkan karena sakit ataupun luapan secara alamiah—tidak menjadi soal bagi kekudusan, tetapi merupakan persoalan jikalau terdapat persetujuan (yaitu masturbasi)."[34] Dengan menyejajarkan menstruasi pada kaum wanita dengan "hilangnya semen tanpa kesengajaan", Gregorius menyatakan bahwa "luapan secara alamiah" tidak menghalangi kaum awam dan klerus untuk berpartisipasi dalam Ekaristi.[35]

Kanon 8 Sinode Victory dari abad ke-6 memberlakukan silih pada orang "yang [berhubungan] di antara paha-pahanya, [tiga] tahun. Namun, jika dengan tangannya sendiri atau tangan orang lain, dua tahun."[36] Tindakan-tindakan itu mengacu pada "masturbasi bersama" dan "percabulan femoralis".[37] Perangkat aturan tertua lainnya yang juga menetapkan penitensi atau silih untuk masturbasi yaitu Petikan-petikan dari Kitab St. David[38] dan Kanon-Kanon dari Yohanes IV.[39][40] Setelah itu, banyak penitensial awal, seperti Penitensial Finnian, Penitensial Kolumbanus, Penitensial Cummean, Paenitentiale Theodori, Paenitentiale Bedae, dan kedua "sinode Santo Patrisius", memberlakukan penitensi-penitensi dengan kadar berat yang beragam untuk perbuatan masturbasi (sendiri ataupun bersama orang lain) pada kaum monastik maupun kaum awam.[10]:299[20][36][38][41][42]

Ortodoksi Timur

Gereja Ortodoks Timur memandang seksualitas sebagai suatu karunia dari Allah yang menemukan pemenuhannya dalam hubungan suami-istri, dan karenanya penyalahgunaan karunia seksualitas manusia adalah dosa. Karena tindakan masturbasi terarah pada diri sendiri, dan berdasarkan hakikatnya tidak mampu mengungkapkan kasih dan perhatian kepada pribadi lainnya, maka masturbasi dipandang sebagai suatu distorsi dalam penggunaan karunia seksualitas. Hal ini utamanya tampak jelas pada saat masturbasi menjadi suatu adiksi atau kecanduan. Pada dasarnya, praktik pemuasan diri dipandang tidak menghormati tujuan dari karunia seksualitas yang diberikan Allah.[43]

Dosa-dosa seksual percabulan, perzinaan, dan masturbasi, sebagaimana kebencian, iri hati, kemabukan, dan dosa-dosa lainnya, dipandang sebagai dosa dalam hati yang setimpal dengan dosa jasmaniah. Berpaling dari dosa seksual berarti berpaling dari kesenangan pribadi yang tujuannya pemuasan diri. Alih-alih berpaling pada keinginan daging, umat Kristen Ortodoks perlu berpaling pada Roh Kudus, yang buah-buahnya diyakini adalah kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri.[44]

Ortodoksi Oriental

Gereja Ortodoks Koptik memandang masturbasi sebagai suatu dosa karena perbuatan ini dinilai sebagai suatu "bentuk kenikmatan seksual di luar rancangan Allah".[45]

Katolisisme Roma

Dalam Katekismus Gereja Katolik, Gereja Katolik mengajarkan:

Masturbasi dipahami sebagai rangsangan alat-alat kelamin yang disengaja dengan tujuan memperoleh kenikmatan seksual. "Baik Magisterium Gereja, dalam perjalanan tradisinya yang panjang dan tetap sama, maupun pengertian moral umat beriman dengan tanpa keraguan dan dengan tegas mempertahankan bahwa masturbasi adalah suatu tindakan yang pada hakikatnya sangat bertentangan dengan keteraturan." "Untuk alasan apa pun, penggunaan kemampuan seksual secara sengaja di luar pernikahan pada dasarnya bertentangan dengan tujuannya." Karena dalam hal ini kenikmatan seksual dicari di luar "hubungan seksual yang dituntut oleh tatanan moral, yang di dalamnya dapat tercapai makna sepenuhnya dari penyerahan diri secara timbal balik dan prokreasi manusia dalam konteks cinta sejati." Untuk membentuk suatu penilaian yang adil mengenai tanggung jawab moral pelakunya dan untuk menuntun tindakan pastoral, orang perlu mempertimbangkan ketidakmatangan afektif, tekanan kebiasaan yang dikembangkan, kondisi kecemasan atau faktor psikologis maupun sosial lainnya, yang dapat mengurangi kesalahan moral atau bahkan menurunkannya ke tingkat minimum.[46]

Meskipun "dikatakan bahwa psikologi dan sosiologi memperlihatkan bahwa [masturbasi] adalah suatu fenomena normal dalam perkembangan seksual, khususnya di kalangan kawula muda," hal ini tidak mengubah kenyataan bahwa masturbasi "adalah suatu tindakan yang secara intrinsik sangat bertentangan dengan keteraturan" dan "bahwa, apa pun motif untuk bertindak dengan cara ini, penggunaan secara sengaja kemampuan seksual di luar hubungan suami-istri yang normal pada dasarnya bertentangan dengan tujuan dari kemampuan itu. Karena [masturbasi] tidak mengandung hubungan seksual yang dituntut oleh tatanan moral, yaitu hubungan yang mewujudkan 'arti sepenuhnya saling memberikan diri dan prokreasi manusia dalam konteks cinta sejati.'"[47]

Menurut ajaran Gereja, penggunaan secara sengaja kemampuan seksual di luar pernikahan adalah berlawanan dengan tujuan utama prokreasi (reproduksi) serta penyatuan suami dan istri di dalam Sakramen Perkawinan.[48] Selain itu, Gereja mengajarkan bahwa semua aktivitas seksual lainnya—termasuk masturbasi, tindakan homoseksual, sodomi, segala jenis seks di luar ataupun sebelum perkawinan (percabulan), dan penggunaan segala bentuk kontrasepsi atau pengaturan kelahiran—adalah sedemikian bertentangan dengan keteraturan,[47] karena hal-hal demikian tidak sesuai dengan tatanan alam, tujuan, dan akhir dari seksualitas.[49] Untuk menyusun suatu penilaian yang seimbang terkait tanggung jawab moral orang yang melakukannya dan untuk melakukan bimbingan pastoral, perlu dipertimbangkan faktor-faktor seperti emosi yang belum dewasa, kekuatan dari kebiasaan masa lalu, kondisi kecemasan atau juga faktor-faktor psikis maupun sosial lain, yang dapat mengurangi tanggung jawab moril bahkan ke tingkatan paling minim.[50]

Menurut Richard A. Spinello, Paus Yohanes Paulus II tidak mengatakan bahwa masturbasi adalah selalu amoral karena "tindakan fisik itu sendiri adalah salah dan berlawanan dengan keteraturan". Ia tidak melihat tindakan fisik sebagai satu-satunya dasar untuk penilaian moral. Dalam ensiklik Veritatis splendor, Paus Yohanes Paulus II menyatakan bahwa "moralitas tindakan manusia" dinilai dengan mempertimbangkan apa yang dipilih seseorang secara rasional berdasarkan "kehendak yang disengaja", dan berdasarkan tujuan yang mengiringinya. Dalam ensikliknya, ia menulis: "Agar dapat memahami objek suatu tindakan yang mengidentifikasi tindakan itu secara moril, perlulah menempatkan diri sendiri dalam perspektif orang yang melakukannya."[51] Masturbasi belum tentu mendatangkan dosa yang serius, atau dosa berat, tetapi tidak dapat dikatakan bahwa masturbasi bukanlah "materi serius" ataupun "sama sekali salah".[52] Joseph Farraher berkesimpulan bahwa masturbasi mendatangkan dosa ringan dalam kasus "tindakan itu dilakukan dengan hanya kesadaran parsial atau hanya pilihan parsial kehendak", atau, dalam kata-kata Harvey, "tidak ada dosa yang serius ... saat tidak dalam keadaan sadar, seperti ketika seseorang setengah terjaga, atau setengah tertidur, atau juga ketika seseorang hanyut dalam hasrat tiba-tiba dan mendapati dirinya melakukan perbuatan itu meski kehendaknya melawan".[53]

Dalam upayanya menjelaskan Teologi Tubuh dari Paus Yohanes Paulus II, Anthony Percy menuliskan dalam bukunya bahwa "pornografi dan masturbasi merupakan penghancuran makna simbolis dan nupsial dari tubuh manusia. ... Allah memberikan energi erotis kepada semua laki-laki dan perempuan. Kita menyebutnya gairah seks. Hal ini baik serta merupakan bagian dari daya tarik antara laki-laki dan perempuan, yang dengan sendirinya membentuk bagian dari makna nupsial tubuh. Oleh karenanya, energi seksual perlu menemukan penyalurannya dalam kasih, bukan nafsu. ... Dalam masturbasi, energi erotis itu dihidupkan pada diri sendiri. ... Dengan demikian, masturbasi merupakan suatu simbol kesendirian, bukan kasih."[54] Jeffrey Tranzillo menambahkan dengan penjelasannya: "Setiap kali laki-laki dan perempuan memanfaatkan tubuhnya untuk menyimulasikan kasih ataupun autentisitas untuk alasan-alasan yang akhirnya melayani diri sendiri dan karenanya merusak diri sendiri maupun orang lain, mereka memalsukan bahasa tubuh yang diciptakan untuk berbicara. Itulah yang mendasari dosa perzinaan." Ia mengatakan bahwa "penyalahgunaan tubuh semacam itu juga mendasari dosa-dosa seksual lain seperti kontrasepsi, masturbasi, percabulan, dan tindakan-tindakan homoseksual".[55]

Protestanisme

Menurut Brian F. Linnane, "sampai abad ke-20, norma-norma moral yang sesungguhnya dalam hal perilaku seksual adalah sama bagi kalangan Protestan maupun Katolik Roma, kendati justifikasi atas norma-norma ini mungkin, ..., cukup berbeda. ... Bagi kedua kelompok tersebut, ungkapan seksual terbatas pada perkawinan seumur hidup, monogami, heteroseksual. Seks pranikah, perzinaan, hubungan homoseksual, masturbasi, dan penggunaan alat pengendalian kelahiran, semuanya dilarang oleh gereja-gereja Kristen".[56] Adrian Thatcher mengatakan bahwa kalangan Protestan secara historis memandang masturbasi sebagai suatu dosa, walaupun mereka "merujuk langsung pada Alkitab bilamana memungkinkan".[57]

Para reformis Protestan seperti Martin Luther dan Yohanes Calvin mengutuk masturbasi dalam karya-karya tulis mereka.[58] Dengan mengacu pada pelanggaran Onan untuk mengidentifikasi bahwa masturbasi adalah dosa, dalam Komentar tentang Kitab Kejadian karyanya, Calvin mengajarkan bahwa "menumpahkan semen secara sengaja di luar persetubuhan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan adalah suatu hal yang mengerikan. Dengan sengaja menarik [penis] dalam hubungan seks supaya semen tersebut [terbuang] adalah dua kali lipat mengerikannya."[57][59] Luther melihat masturbasi sebagai suatu dosa yang lebih mengerikan daripada pemerkosaan heteroseksual karena tindakan perkosaan tersebut masih dipandang "selaras dengan kodrat", sedangkan masturbasi adalah tidak wajar atau tidak selaras dengan kodrat manusia.[60] Ia juga memandang masturbasi dan coitus interruptus sebagai tindakan-tindakan yang setara dengan membunuh anak-anak sebelum mereka berkesempatan untuk dilahirkan; oleh karena itu, baginya, masturbasi pada dasarnya sama dengan aborsi.[61] Luther berpendapat bahwa tindakan perkawinan adalah suatu cara untuk menghindari dosa masturbasi: "Kodrat tidak pernah surut ... kita semua digerakkan menuju dosa tersembunyi tersebut. Kasarnya, tetapi sejujurnya, apabila [semen] tidak masuk ke dalam seorang perempuan, [semen] masuk ke bajumu."[62]

John Wesley, pendiri Methodisme, memegang suatu pandangan yang serupa seperti Calvin. Menurut Bryan C. Hodge, Wesley meyakini bahwa "setiap penyia-nyiaan semen dalam suatu tindakan seksual yang non produktif, entah dalam bentuk masturbasi atau coitus interruptus, seperti dalam kasus Onan, menghancurkan jiwa-jiwa dari individu-individu yang mempraktikkannya".[63] Wesley memandang masturbasi sebagai suatu cara yang tidak dapat diterima untuk melepaskan "ketegangan seksual". Sebagaimana orang-orang pada zamannya, ia meyakini bahwa banyak orang telah menderita sakit parah yang bahkan menyebabkan kematian karena "masturbasi habitual".[64] Ia berpendapat bahwa "gangguan kecemasan, bahkan kegilaan, bisa disebabkan oleh bentuk lain kelebihan luapan badani – masturbasi."[65] Ia menuliskan Pemikiran tentang Dosa Onan (1767), yang dipublikasikan ulang dengan judul Sepatah Kata untuk Yang Berkepentingan pada tahun 1779, sebagai suatu upaya untuk menyensor sebuah karya tulis Samuel-Auguste Tissot.[66] Dalam karyanya itu, Wesley memperingatkan akan "bahaya-bahaya kecemaran diri", yakni dampak-dampak buruk masturbasi secara fisik dan mental,[65][66] menulis banyak kasus demikian bersama dengan rekomendasi-rekomendasi penanganannya.[64]

Islam

Dalam Islam, masturbasi (bahasa Arab: استمناء, translit. istimnā’) dilarang, menurut pendapat mayoritas ulama. Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur'an:

Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, Kecuali terhadap istri-istri atau hamba sahaya yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa yang mencari di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.

Kalau seseorang melakukan masturbasi, maka puasanya batal. Jika seseorang tidak dapat menikah, maka dianjurkan untuk berpuasa. Mandi wajib (ghusl) adalah wajib setelah keluarnya air mani apa pun baik melalui hubungan seksual, masturbasi, atau emisi malam hari (mimpi basah).[67]

Yudaisme

Maimonides menyatakan bahwa Tanakh tidak secara eksplisit melarang masturbasi.[68] Menurut tradisi, kisah biblis mengenai Onan ditafsirkan oleh kaum Yahudi sebagai pengeluaran sperma di luar vagina dan kecaman daripadanya,[69] serta menerapkan kisah ini untuk masturbasi,[69] kendati Tanakh tidak secara eksplisit menyatakan bahwa Onan melakukan masturbasi.[69] Berdasarkan kisah Onan tersebut, Yudaisme tradisional mengutuk masturbasi yang dilakukan oleh kaum pria.[68]

Kitab Imamat membahas suatu kenajisan atau kecemaran ritual yang terkait dengan emisi sperma. Interpretasi kerabian tradisional atas Imamat 15 adalah bahwa hal itu berlaku untuk semua pengeluaran sperma, termasuk pengeluaran sperma karena masturbasi.

Namun, ejakulasi semen hanya menyebabkan satu hari kenajisan yang memerlukan pembasuhan dan pembersihan (15:16-18), terlepas dari apakah tindakan tersebut berlangsung selama persetubuhan (yang sah) atau oleh diri sendiri, (masturbasi) secara sengaja atau juga (emisi nokturnal) secara tidak sengaja.

— Jacob Milgrom, Leviticus 17-22, pp. 1567-1568, apud Robert A. J. Gagnon, "A critique of Jacob Milgrom's views on Leviticus 18:22 and 20:13"

"Milgrom mengakui bahwa para rabi mengutuk masturbasi. ... Namun demikian, 'itu pengundangan mereka, bukan dari Kitab Suci'."[70]

Hinduisme

Mencari kesenangan jasmani hanya dianggap terkutuk bagi mereka yang membaktikan diri pada kesucian. Tidak ada referensi dalam teks agama Hindu yang menunjukkan bahwa masturbasi itu sendiri menodai kemurnian seksual. Bagi mereka yang berdedikasi pada kesucian, dosa ini benar-benar kecil, dan dapat diampuni baik dengan mandi, atau dengan menyembah Matahari, atau dengan berdoa tiga kali.[71][72][73]

Buddhisme

Formulasi etika Buddhis yang paling banyak digunakan adalah Pancasila. Sila-sila ini berupa usaha-usaha pribadi yang dilakukan secara sukarela, bukan instruksi atau amanat ilahiah. Sila ketiga yaitu "melatih diri untuk tidak melakukan perbuatan asusila".[74] Bagaimanapun, setiap aliran Buddhisme memiliki interpretasi berbeda dalam hal apa saja yang merupakan "perbuatan asusila".

Buddhisme dikemukakan oleh Buddha Gautama sebagai suatu metode yang melaluinya manusia dapat mengakhiri dukkha (penderitaan) dan keluar dari samsara (putaran eksistensi tanpa akhir). Normalnya hal ini memerlukan latihan meditasi serta mengikuti Empat Kebenaran Mulia dan Jalan Utama Berunsur Delapan sebagai suatu cara untuk menundukkan gairah-gairah yang, bersama dengan kelima khandha, menyebabkan penderitaan dan kelahiran kembali. Dengan demikian masturbasi (Pali: sukkavissaṭṭhi) dipandang sebagai masalah bagi orang yang ingin mencapai kebebasan. Menurut suatu pengajaran dari Lama Thubten Zopa Rinpoche, adalah penting untuk menahan diri dari "hubungan seksual, termasuk masturbasi, segala tindakan yang menyebabkan orgasme dan sebagainya, karena hal ini mengakibatkan suatu kelahiran kembali."[75] Ia menjelaskan: "Secara umum, tindakan yang merupakan kebalikan dari sila tersebut mendatangkan hasil negatif yang berlawanan, menjauhkan kita dari pencerahan, dan membuat kita lebih lama berada dalam samsara."[75]

Taoisme

Beberapa pengajar dan praktisi pengobatan tradisional Tionghoa, seni bela diri dan meditasi Tao mengatakan bahwa masturbasi dapat menyebabkan penurunan tingkat energi pada pria. Mereka mengatakan bahwa ejakulasi dengan cara ini mengurangi "qi asal" dari dantian, pusat energi yang terletak di perut bagian bawah. Sejumlah pihak berpandangan bahwa seks dengan seorang pasangan tidak menyebabkan hal ini karena keduanya saling mengisi qi masing-masing. Oleh karena itu beberapa praktisi mengatakan bahwa kaum pria seharusnya tidak berlatih seni beli diri dalam jangka waktu 48 jam setelah masturbasi, kendati yang lainnya mensyaratkan hingga 6 bulan, karena hilangnya Qi Asal tidak memungkinkan qi baru diciptakan dalam kurun waktu tersebut.[butuh rujukan]

Beberapa Taois sangat tidak menganjurkan masturbasi pada kaum wanita. Kaum wanita didorong untuk mempraktikkan teknik-teknik memijat pada diri mereka sendiri, tetapi juga diminta untuk menghindari berpikir tentang hal-hal seksual jika mengalami suatu perasaan senang. Jika tidak maka "labia akan terbuka lebar dan sekresi seksual akan mengalir". Apabila hal ini terjadi, wanita tersebut akan kehilangan bagian dari daya kehidupannya, dan ini dapat menyebabkan penyakit maupun hidup yang lebih singkat.[76]

Wicca

Agama Neopagan Wicca, sebagaimana agama-agama lain, memiliki penganut-penganut dengan suatu spektrum pandangan yang berkisar dari konservatif hingga liberal. Wicca umumnya tidak dogmatis, dan tidak ada dalam filsafat Wicca yang melarang masturbasi. Sebaliknya, etika Wicca, yang terangkum dalam Rede Wicca "Selama tidak membahayakan seorang pun, lakukan apa yang kamu kehendaki", ditafsirkan oleh banyak pihak sebagai dukungan atas segala jenis aktivitas seksual yang bertanggung jawab. Hal ini diteguhkan dalam Tuntutan Sang Dewi, suatu bagian penting dalam literatur Wicca, yang di dalamnya Sang Dewi mengatakan bahwa "semua tindakan cinta dan kesenangan adalah ritual-ritualku".[77]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ (Inggris) Vines, Matthew (2014). "4. The Real Sin of Sodom". God and the Gay Christian: The Biblical Case in Support of Same-Sex Relationships. New York, NY: Doubleday Religious Publishing Group. hlm. 72. ISBN 9781601425171. OCLC 869801284. 
  2. ^ (Inggris) Coogan, Michael (October 2010). God and Sex. What the Bible Really Says (edisi ke-1st). New York, Boston: Twelve. Hachette Book Group. hlm. 110. ISBN 978-0-446-54525-9. OCLC 505927356. Diakses tanggal May 5, 2011. Although Onan gives his name to "onanism," usually a synonym for masturbation, Onan was not masturbating but practicing coitus interruptus. 
  3. ^ (Inggris) http://www.catholic.com/tracts/birth-control Diarsipkan 2016-11-29 di Wayback Machine. (official Catholic tract declared free from error by a book censor and approved by a bishop.) Quote: "The Bible mentions at least one form of contraception specifically and condemns it. Coitus interruptus, was used by Onan to avoid fulfilling his duty according to the ancient Jewish law of fathering children for one's dead brother."
  4. ^ (Inggris) Ellens, J. Harold (2006). "6. Making Babies: Purposes of Sex". Sex in the Bible: a new consideration. Westport, Conn.: Praeger Publishers. hlm. 48. ISBN 0-275-98767-1. OCLC 65429579. Diakses tanggal 2012-01-24. He practiced coitus interruptus whenever he made love to Tamar. 
  5. ^ (Inggris) The Web Bible Encyclopedia at http://www.christiananswers.net/dictionary/onan.html quote: "Some have mistakenly assumed that Onan's sin was masturbation. However, it seems clear that this is not the case. Onan was prematurely withdrawing from sexual intercourse with his new wife, Tamar. This is a form of birth control still practiced today (coitus interruptus)."
  6. ^ (Inggris) Church Father Epiphanius of Salamis agrees, according to Riddle, John M. (1992). "1. Population and Sex". Contraception and abortion from the ancient world to the Renaissance. Cambridge, Mass.: Harvard University Press. hlm. 4. ISBN 0-674-16875-5. OCLC 24428750. Diakses tanggal 2012-01-24. Epiphanius (fourth century) construed the sin of Onan as coitus interruptus.14 
  7. ^ (Inggris) Patton, Michael S. (June 1985). "Masturbation from Judaism to Victorianism". Journal of Religion and Health. Springer Netherlands. 24 (2): 133–146. doi:10.1007/BF01532257. ISSN 0022-4197. PMID 24306073. Diakses tanggal 12 November 2011. Nevertheless, there is no legislation in the Bible pertaining to masturbation. [pranala nonaktif permanen]
  8. ^ (Inggris) Kwee, Alex W.; David C. Hoover (2008). "Theologically-Informed Education about Masturbation: A Male Sexual Health Perspective" (PDF). Journal of Psychology and Theology. La Mirada, CA, USA: Rosemead School of Psychology. Biola University. 36 (4): 258–269. ISSN 0091-6471. Diakses tanggal 12 November 2011. The Bible presents no clear theological ethic on masturbation, leaving many young unmarried Christians with confusion and guilt around their sexuality. 
  9. ^ (Inggris) Nelson, James (2003). "Homosexuality and the Church". Dalam Laderman, Gary; León, Luis D. Religion and American Cultures: An Encyclopedia of Traditions, Diversity, and Popular Expressions. Santa Barbara, CA: ABC-Clio. hlm. 884. ISBN 9781576072387. OCLC 773527161. 
  10. ^ a b (Inggris) Thatcher, Adrian, ed. (2014). The Oxford Handbook of Theology, Sexuality, and Gender. OUP Oxford. ISBN 019164109X. 
  11. ^ (Inggris) O'Brien, Julia M., ed. (2014). The Oxford Encyclopedia of the Bible and Gender Studies. Oxford University Press. hlm. 465. ISBN 019983699X. 
  12. ^ (Inggris) Osborne, Grant R. (2010). Arnold, Clinton E., ed. Matthew: Exegetical Commentary on the New Testament. Zondervan. hlm. 196. ISBN 0310323703. 
  13. ^ (Inggris) Bhala, Raj (2011). Understanding Islamic Law. LexisNexis. hlm. 1032–1033. ISBN 1579110428. 
  14. ^ (Inggris) Kueny, Kathryn M. (2013). Conceiving Identities. State University of New York Press. hlm. 251. ISBN 143844785X. 
  15. ^ (Inggris) Younger, John G. (2004). Sex in the Ancient World from A to Z. Routledge. hlm. 181. ISBN 1134547021. 
  16. ^ a b (Inggris) Noonan, Jr., John T. (2012). Contraception: A History of Its Treatment by the Catholic Theologians and Canonists (edisi ke-Enlarged). Harvard University Press. hlm. 95–98. ISBN 0674070267. 
  17. ^ (Inggris) Schroeder, Caroline T. (2013). Monastic Bodies: Discipline and Salvation in Shenoute of Atripe. University of Pennsylvania Press. hlm. 36. ISBN 0812203380. 
  18. ^ (Inggris) Krawiec, Rebecca (2002). Shenoute and the Women of the White Monastery: Egyptian Monasticism in Late Antiquity. Oxford University Press. hlm. 26,189. ISBN 0198029616. 
  19. ^ (Inggris) Baker, Robert (2012). "The Clinician as Sexual Philosopher". Dalam Shelp, Earl E. Sexuality and Medicine: Volume II: Ethical Viewpoints in Transition. Springer Science & Business Media. hlm. 101. ISBN 940153943X. 
  20. ^ a b c (Inggris) Sauer, Michelle M. (2015). Gender in Medieval Culture. Bloomsbury Publishing. hlm. 76–78. ISBN 1441121609. 
  21. ^ a b (Inggris) Cain, Andrew (2016). The Greek Historia Monachorum in Aegypto: Monastic Hagiography in the Late Fourth Century. Oxford University Press. hlm. 257. ISBN 0191075809. 
  22. ^ (Inggris) Wiesner-Hanks, Merry E. (2011). Gender in History: Global Perspectives (edisi ke-2). John Wiley & Sons. hlm. 123. ISBN 1444351729. 
  23. ^ a b (Inggris) Daniel-Hughes, Carly (2012). "Same-Sex Desire in Early Christianity". Dalam Boisvert, Donald L.; Johnson, Jay Emerson. Queer Religion, Volume 1. ABC-CLIO. hlm. 104, 111. ISBN 0313353581. 
  24. ^ (Inggris) Saint Isidore of Seville. Sharpe, William D., ed. Isidore of Seville: The Medical Writings (edisi ke-1964). American Philosophical Society. hlm. 33. 
  25. ^ a b (Inggris) Salisbury, Joyce E. (1992). Church Fathers, Independent Virgins. Verso. hlm. 22. ISBN 0860915964. 
  26. ^ (Inggris) Vern L. Bullough (1973). "Medieval Medical and Scientific Views of Women". Viator, Volume 4. University of California Press. hlm. 496. ISBN 0520023927. 
  27. ^ (Inggris) Mielke, Arthur J. (1995). "Chapter 4. Christian Perspectives on Sex and Pornography". Christians, Feminists, and the Culture of Pornography. University Press of America. hlm. 59. ISBN 9780819197658. OCLC 878553779. 
  28. ^ Mielke (1995: 60)
  29. ^ a b c (Inggris) Brundage, James A. (15 February 2009). Law, Sex, and Christian Society in Medieval Europe. University of Chicago Press. hlm. 109. ISBN 978-0-226-07789-5. Diakses tanggal 10 October 2016. 
  30. ^ Brundage (2009), p. 174.
  31. ^ (Inggris) James F. Keenan (17 January 2010). A History of Catholic Moral Theology in the Twentieth Century: From Confessing Sins to Liberating Consciences. A&C Black. hlm. 45–46. ISBN 978-0-8264-2929-2. 
  32. ^ (Inggris) Stewart, Columba (1998). Cassian the Monk. Oxford University Press. hlm. 67,185. ISBN 0195354354. 
  33. ^ (Inggris) Berry, Christopher J. (1994). The Idea of Luxury: A Conceptual and Historical Investigation. Cambridge University Press. hlm. 97. ISBN 0521466911. 
  34. ^ (Inggris) Elliott, Mark W. (2012). "Leviticus 15". Engaging Leviticus: Reading Leviticus Theologically with Its Past Interpreters. Eugene, OR: Cascade Books, Wipf and Stock Publishers. hlm. 148. ISBN 9781610974110. OCLC 773015476. 
  35. ^ (Inggris) McCracken, Peggy (2003). The Curse of Eve, the Wound of the Hero: Blood, Gender, and Medieval Literature. University of Pennsylvania Press. hlm. 3. ISBN 0812237137. 
  36. ^ a b (Inggris) Crompton, Louis (2003). Homosexuality and Civilization. Harvard University Press. hlm. 155. ISBN 0674030060. 
  37. ^ (Inggris) Damian, Peter (2010). Book of Gomorrah. Translated with an Introduction and Notes by Pierre J. Payer. Wilfrid Laurier University Press. hlm. 29. ISBN 1554586631. 
  38. ^ a b (Inggris) Denton, Chad (2014). The War on Sex: Western Repression from the Torah to Victoria. McFarland. hlm. 97–99. ISBN 0786495049. 
  39. ^ (Inggris) Balmain, Colette; Drawmer, Lois, ed. (2009). Something Wicked this Way Comes: Essays on Evil and Human Wickedness. Rodopi. hlm. 155, 160. ISBN 9042025506. 
  40. ^ (Inggris) Morris, Stephen (2015). When Brothers Dwell in Unity: Byzantine Christianity and Homosexuality. McFarland. hlm. 79–80, 93. ISBN 0786495170. 
  41. ^ (Inggris) Frantzen, Allen J. (2000). Before the Closet: Same-Sex Love from "Beowulf" to "Angels in America". University of Chicago Press. hlm. 150, 157–158. ISBN 0226260925. 
  42. ^ (Inggris) Bitel, Lisa (1987). "Sex, Sin, and Celibacy in Early Christian Ireland". Proceedings of the Harvard Celtic Colloquium. Department of Celtic Languages & Literatures, Harvard University. 7: 65. 
  43. ^ (Inggris) John Matusiak. "Church's view of masturbation". Orthodox Church in America. Diakses tanggal 2008-06-26. 
  44. ^ (Inggris) Archpriest Joseph F Purpura, Antiochian Orthodox Christian Archdiocese. "Pre-marital Sexual Relations". Moral and Ethical Issues: Confronting Orthodox Youth across North America. Author Books and Barnes & Noble. Diakses tanggal 2008-06-26. 
  45. ^ (Inggris) "A Christian Guide to Ontario's Health and Physical Education Curriculum" (PDF). Coptic Orthodox Patriarchate, the Dioecese of Mississauga, Vancouver and Western Canada. 2015. hlm. 20–23. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2017-01-04. Diakses tanggal 2017-01-15. 
  46. ^ (Inggris) "Paragraph 2352", Catechism of the Catholic Church, Second Edition, Libreria Editrice Vaticana, 2012 
  47. ^ a b (Inggris) Cardinal Seper, Franjo (2005-12-29). "Persona Humana: Declaration on certain questions concerning sexual ethics". § IX. The Roman Curia. Diakses tanggal 2008-07-23. 
  48. ^ (Inggris) Pope Pius XI (1930-12-31). "Casti Connubii". Diakses tanggal 2009-07-23. 
  49. ^ (Inggris) Pope Paul VI (1968-07-25). "Humanæ Vitæ". Diakses tanggal 2009-07-23. 
  50. ^ (Inggris) Libreria Editrice Vaticana (ed.). "Catechism of the Catholic Church". 2352. Diakses tanggal 2009-07-23. 
  51. ^ (Inggris) Spinello, Richard A. (2006). The Genius of John Paul II: The Great Pope's Moral Wisdom. Sheed & Ward. hlm. 194–195. ISBN 1461635403. 
  52. ^ (Inggris) Lawler, Ronald David; Boyle, Joseph M.; May, William E. (1998). Catholic Sexual Ethics: A Summary, Explanation & Defense. Our Sunday Visitor Publishing. hlm. 182–184. ISBN 0879739525. 
  53. ^ (Inggris) Genovesi, Vincent J. (1996). In Pursuit of Love: Catholic Morality and Human Sexuality. Liturgical Press. hlm. 322–323. ISBN 0814655904. 
  54. ^ (Inggris) Percy, Anthony (2005). Theology of the Body Made Simple: An Introduction to John Paul II's 'Gospel of the Body'. Gracewing Publishing. hlm. 63–64. ISBN 0852446683. 
  55. ^ (Inggris) Tranzillo, Jeffrey (2013). John Paul II on the Vulnerable. The Catholic University of America Press. hlm. 169. ISBN 0813220114. 
  56. ^ (Inggris) Linnane, Brian F. (2007). "Sexual Ethics". Dalam Espín, Orlando O.; Nickoloff, James B. An Introductory Dictionary of Theology and Religious Studies. Liturgical Press. hlm. 419. ISBN 0814658563. 
  57. ^ a b (Inggris) Thatcher, Adrian (2011). God, Sex, and Gender: An Introduction. John Wiley & Sons. hlm. 184–185. ISBN 1405193697. 
  58. ^ (Inggris) Clement, Priscilla Ferguson; Reinier, Jacqueline S., ed. (2001). Boyhood in America: A - K., Volume 1. ABC-CLIO. hlm. 431. ISBN 1576072150. 
  59. ^ (Inggris) Reilly, Kevin (2014). "Masturbation". Dalam Laderman, Gary; León, Luis. Religion and American Cultures: Tradition, Diversity, and Popular Expression (edisi ke-Second). ABC-CLIO. hlm. 770. ISBN 1610691105. 
  60. ^ (Inggris) De La Torre, Miguel A. (2007). A Lily Among the Thorns: Imagining a New Christian Sexuality. John Wiley & Sons. hlm. 119. ISBN 0787997978. 
  61. ^ (Inggris) Anderson, Judith H.; Vaught, Jennifer C. (2013). Shakespeare and Donne: Generic Hybrids and the Cultural Imaginary. Fordham University Press. hlm. 75. ISBN 082325125X. 
  62. ^ (Inggris) Seeman, Erik R. (1998). "Sarah Prentice and the Immortalists: Sexuality, Piety, and the Body in Eighteenth-Century New England". Dalam Smith, Merril D. Sex and Sexuality in Early America. New York University Press. hlm. 124. ISBN 0814729363. 
  63. ^ (Inggris) Hodge, Bryan C. (2010). The Christian Case against Contraception: Making the Case from Historical, Biblical, Systematic, and Practical Theology & Ethics. Wipf and Stock Publishers. ISBN 1621892190. 
  64. ^ a b (Inggris) Coe, Bufford W. (1996). John Wesley and Marriage. Lehigh University Press. hlm. 64. ISBN 0934223394. 
  65. ^ a b (Inggris) Madden, Deborah (2012). 'Inward & Outward Health': John Wesley's Holistic Concept of Medical Science, the Environment and Holy Living. Wipf and Stock Publishers. hlm. 152–153. ISBN 1620321270. 
  66. ^ a b (Inggris) Numbers, Ronald L.; Amundsen, Darrel W. (1986). Caring and Curing: Health and Medicine in the Western Religious Traditions. Johns Hopkins University Press. hlm. 322. ISBN 0801857961. 
  67. ^ "Janabah - Oxford Islamic Studies Online". oxfordislamicstudies.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2018-07-24. 
  68. ^ a b (Inggris) Maimonides, Commentary to the Mishnah, Sanhedrin 7:4, apud Dorff, Elliot N. (2003) [1998]. "Chapter Five. Preventing Pregnancy". Matters of life and death : a Jewish approach to modern medical ethics (edisi ke-First paperback). Philadelphia, PA: Jewish Publication Society. hlm. 117. ISBN 0827607687. OCLC 80557192. Jews historically shared the abhorrence of male masturbation that characterized other societies.2 Interestingly, although the prohibition was not debated, legal writers had difficulty locating a biblical based for it, and no less an authority than Maimonides claimed that it could not be punishable by the court because there was not an explicit negative commandment forbidding it.3 
  69. ^ a b c (Inggris) Judaism 101: Kosher Sex Jewish law clearly prohibits male masturbation. This law is derived from the story of Onan (Gen. 38:8-10), who practiced coitus interruptus as a means of birth control to avoid fathering a child for his deceased brother. G-d killed Onan for this sin. Although Onan's act was not truly masturbation, Jewish law takes a very broad view of the acts prohibited by this passage, and forbids any act of ha-sh'cha'tat zerah (destruction of the seed), that is, ejaculation outside of the vagina. In fact, the prohibition is so strict that one passage in the Talmud states, "in the case of a man, the hand that reaches below the navel should be chopped off." (Niddah 13a). The issue is somewhat less clear for women. Obviously, spilling the seed is not going to happen in female masturbation, and there is no explicit Torah prohibition against female masturbation. Nevertheless, Judaism generally frowns upon female masturbation as "impure thoughts."
  70. ^ (Inggris) Gagnon, Robert A.J. (2005-02-07). "A critique of Jacob Milgrom's views on Leviticus 18:22 and 20:13" (PDF). www.robgagnon.net. Pittsburgh. hlm. 6. Diakses tanggal 2015-06-25. 
  71. ^ Ramanathan, Vijayasarathi; Weerakoon, Patricia (2012). "Sexuality in India: Ancient Beliefs, Present Day Problems, and Future Approaches to Management". Dalam Graham, Cynthia A.; Hall, Kathryn. The Cultural Context of Sexual Pleasure and Problems: Psychotherapy with Diverse Clients. Online access with subscription: Proquest Ebook Central. Routledge. hlm. 177. ISBN 978-0-415-99845-1. Diakses tanggal 21 January 2022. 
  72. ^ Bullough, Vern L. (23 January 2003). "Masturbation". Journal of Psychology & Human Sexuality. Informa UK Limited. 14 (2–3): 17–33. doi:10.1300/j056v14n02_03. ISSN 0890-7064.  (perlu berlangganan)
  73. ^ Cornog, Martha (2003). The Big Book of Masturbation: From Angst to Zeal. Down There Press. hlm. 167, 181–183. ISBN 978-0-940208-29-2. Diakses tanggal 21 January 2022. I could not locate any Vedic texts or commentary referring to masturbation 
  74. ^ (Inggris) Higgins, Winton. "Buddhist Sexual Ethics". BuddhaNet Magazine. Diakses tanggal 2007-01-15. 
  75. ^ a b (Inggris) Lama Thubten Zopa Rinpoche. "Kopan Course No. 03 & No. 04 (1972-73): Appendix One: The Eight Mahayana Precepts". Diakses tanggal January 9, 2017. 
  76. ^ Wile (1994), p. 59.
  77. ^ (Inggris) "Alternative Sexuality". Tangled Moon Coven. 2006-08-08. Diakses tanggal 2006-12-30. 

Pranala luar

  • (Inggris) Farraher, Joseph James; Friedrichsen, Timothy; Fitzgibbons, Richard P. (2013), "Masturbation", dalam Fastiggi, Robert L., et.al., New Catholic Encyclopedia Supplement 2012-2013: Ethics and Philosophy, Retrieved from Catholic Education Resource Center, Detroit: Gale, ISBN 9781414482255 
  • (Inggris) Numbers, Ronald L, "Sex, Science, and Salvation: The Sexual Advice of Ellen G. White and John Harvey Kellogg," in Right Living: An Anglo-American Tradition of Self-Help Medicine and Hygiene ed. Charles Rosenberg, 2003.
  • (Inggris) Wile, Douglas. The Art of the Bedchamber: The Chinese Sexual Yoga Classics including Women's Solo Meditation Texts. Albany: State University of New York, 1992.
Kembali kehalaman sebelumnya